(Pixabay/PublicDomainPicture) Siapa di sini yang udah memasuki masa-masa pubertas? Masa pubertas, merupakan masa dimana semuanya benar-benar berubah. Ya gimana enggak, masa pubertas merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa remaja. Uniknya, ketika memasuki masa pubertas dibilang masih anak-anak nggak mau tapi dibilang dewasa juga belum siap 🙊 Eits, tapi tenang aja kalau kamu udah ada di masa pubertas ini. Karena aku bakalan spill Tips Sukses Pubertas yang sangat mudah kamu terapkan di dalam keseharianmu ☺ 6 Tips Sukses Pubertas 1. Pahami Perubahan Bentuk Tubuh (fisik) Hal yang bikin kaget dan tentu saja penanda pertama ketika kamu memasuki masa pubertas adalah, perubahan bentuk tubuh. Suara mulai berubah (perempuan cempreng, laki-laki nge-bas), tumbuhnya b...
Empat tahun selama kuliah, saya belajar tentang keluarga. Soalnya jurusan saya Ilmu Keluarga dan Konsumen.Bahkan konsumen pun belajarnya nggak jauh-jauh dari cara mengelola ekonomi keluarga.
Sejujurnya semakin dipelajari, semakin sering mengoreksi. Mengoreksi tentang keluarga sendiri.
Ini kok nggak bener, harusnya kayak gitu
Kenapa sih kayak gini?
Pertanyaan-pertanyaan yang selalu berputar-putar di kepala. Kenapa keluarga yang dijalankan, tidak berjalan sesuai dengan teori yang ada?
Jadi ingat ketika saya mengambil kelas Family Therapy, bareng Pak Asep Haerul Gani.
Ada salah satu peserta, yang sangat tidak puas dengan keluarganya (Fyi, semua peserta merupakan psikolog kecuali saya yang lulusan Ilmu Keluarga).
Dan mengagetkan apa respon Pak Asep terhadap peserta tersebut.
"Kamu merasakan ini, karena kamu orang psikologi. Bahkan kamu mendalami psikologi keluarga. Coba kalau kamu anak teknik, maka kamu tidak akan merasa sesakit ini."
Kurang lebih, itu yang beliau katakan di depan kami para peserta.
Jleb....
Tentu saja, semua yang dikatakan Pak Asep benar adanya.
Bahkan ketika kuliah, saya pernah beberapa kali menangis ketika membahas beberapa teori. Tiba-tiba rasanya dada sesak, dan air mata bercucuran deras. Untungnya waktu itu kelas besar. Mahasiswa yang mengikuti kelas kurang lebih sebanyak 200 orang, jadi isakan tangis saya tidak terlalu terlihat. Ya mungkin, orang yang duduk di samping saya saja yang melihatnya.
Bahkan setelah kuliah, saya tidak mau berhenti untuk mempelajari keluarga.
Saya ambil beberapa kelas yang membahas tentang psikologi keluarga. Karena sewaktu kuliah basic ilmu keluarga dari sosiologi, jadi saya wajib melengkapinya dengan ilmu psikologi.
Namun apa yang terjadi?
Semakin dipelajari, rasanya semakin dikuliti.
Sakit...
Tentu saja iya.
Gambaran keluarga ideal nan sempurna selalu memenuhi otak saya.
Sedikit saja anggota keluarga lain menyalahi teori, rasanya gimana gitu.
Lantas apa mungkin, ini salah satu hal yang menjadikan saya untuk menetapkan standar dalam memilih pasangan.
Saya sangat super selektif memilih. Saya tidak akan berhenti hanya kepada titik saya cocok dengan individunya, namun saya harus menelusuri juga bagaimana keluarganya.
Meski individunya oke, tapi keluarganya enggak. Maka lebih baik tidak lanjut, karena itu akan menjadi bibit toxic dalam family relationship.
Ah sudahlah....
Apakah mungkin memang lebih baik untuk menyendiri?
Sejujurnya semakin dipelajari, semakin sering mengoreksi. Mengoreksi tentang keluarga sendiri.
Ini kok nggak bener, harusnya kayak gitu
Kenapa sih kayak gini?
Pertanyaan-pertanyaan yang selalu berputar-putar di kepala. Kenapa keluarga yang dijalankan, tidak berjalan sesuai dengan teori yang ada?
Jadi ingat ketika saya mengambil kelas Family Therapy, bareng Pak Asep Haerul Gani.
Ada salah satu peserta, yang sangat tidak puas dengan keluarganya (Fyi, semua peserta merupakan psikolog kecuali saya yang lulusan Ilmu Keluarga).
Dan mengagetkan apa respon Pak Asep terhadap peserta tersebut.
"Kamu merasakan ini, karena kamu orang psikologi. Bahkan kamu mendalami psikologi keluarga. Coba kalau kamu anak teknik, maka kamu tidak akan merasa sesakit ini."
Kurang lebih, itu yang beliau katakan di depan kami para peserta.
Jleb....
Tentu saja, semua yang dikatakan Pak Asep benar adanya.
Bahkan ketika kuliah, saya pernah beberapa kali menangis ketika membahas beberapa teori. Tiba-tiba rasanya dada sesak, dan air mata bercucuran deras. Untungnya waktu itu kelas besar. Mahasiswa yang mengikuti kelas kurang lebih sebanyak 200 orang, jadi isakan tangis saya tidak terlalu terlihat. Ya mungkin, orang yang duduk di samping saya saja yang melihatnya.
Bahkan setelah kuliah, saya tidak mau berhenti untuk mempelajari keluarga.
Saya ambil beberapa kelas yang membahas tentang psikologi keluarga. Karena sewaktu kuliah basic ilmu keluarga dari sosiologi, jadi saya wajib melengkapinya dengan ilmu psikologi.
Namun apa yang terjadi?
Semakin dipelajari, rasanya semakin dikuliti.
Sakit...
Tentu saja iya.
Gambaran keluarga ideal nan sempurna selalu memenuhi otak saya.
Sedikit saja anggota keluarga lain menyalahi teori, rasanya gimana gitu.
Lantas apa mungkin, ini salah satu hal yang menjadikan saya untuk menetapkan standar dalam memilih pasangan.
Saya sangat super selektif memilih. Saya tidak akan berhenti hanya kepada titik saya cocok dengan individunya, namun saya harus menelusuri juga bagaimana keluarganya.
Meski individunya oke, tapi keluarganya enggak. Maka lebih baik tidak lanjut, karena itu akan menjadi bibit toxic dalam family relationship.
Ah sudahlah....
Apakah mungkin memang lebih baik untuk menyendiri?
Komentar
Posting Komentar