Langsung ke konten utama

Tips Sukses Pubertas, Gen Z Ayo Merapat!

                                                              (Pixabay/PublicDomainPicture) Siapa di sini yang udah memasuki masa-masa pubertas? Masa pubertas, merupakan masa dimana semuanya benar-benar berubah.  Ya gimana enggak, masa pubertas merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa remaja. Uniknya, ketika memasuki masa pubertas dibilang masih anak-anak nggak mau tapi dibilang dewasa juga belum siap 🙊 Eits, tapi tenang aja kalau kamu udah ada di masa pubertas ini. Karena aku bakalan spill Tips Sukses Pubertas yang sangat mudah kamu terapkan di dalam keseharianmu ☺ 6 Tips Sukses Pubertas 1. Pahami Perubahan Bentuk Tubuh (fisik) Hal yang bikin kaget dan tentu saja penanda pertama ketika kamu memasuki masa pubertas adalah, perubahan bentuk tubuh. Suara mulai berubah (perempuan cempreng, laki-laki nge-bas), tumbuhnya bulu-bulu di area-area tertentu, jerawat, dada bidang (laki-laki),  haid (perempuan), adanya sperma (laki-laki), dan tumbuhnya payudara (perempuan). Jadi jangan

Fenomena Hijrah (Dari ngomongin jilbab, nikah muda, poligami, gender, dll)

Waaa berasa udah lamaaa nggak ngomongin hal-hal yang berbau gender di blog. Kenapa sekarang ngomongin ini? Soalnya tadi malem nggak sengaja nyasar ke beberapa account di IG yang intinya mereka tidak suka dengan fenomena hijrah dan menyatakan diri bahwa mereka feminis dan MENOLAK patriarki. Well, diriku mulai lah kepo dengan berapa account ini. Ku amati dan analisis setiap kalimat yang menjadi pemahaman mereka, pun memang bahasan gender merupakan bahasan yang ku perdalam sewaktu kuliah. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang ingin dengan seksama ku bahas di sini. Kenapa di blog? Soalnya kalau di IG nulisnya terbatas wkwkw. Ya semoga penjelasan yang ku berikan nggak bikin blunder dan semoga jadi paham dampak apa saja baik itu negatif dan positifnya terkait gender ini. Dan pastinya ku membahas ini bukan dari sudut subjektif pribadi, karena ku benar-benar memelajari ini pas kuliah. Nama matkulnya Gender dan Keluarga. Pun dosen yang bawakan kuliah itu beliau kuliah masternya ngambil kuliah gender di US. Jadi bahasan kali ini beneran dibahas berdasarkan akademik dan berbagai riset yang sudah dilakukan lebih dari 10 tahun baik itu di luar negri pun di Indonesia.

Mari kita mulai bahasan ini dengan membahas

Fenomena Hijrah

Kenapa membahas ini diawal? Karena beberapa account tersebut sangat super duper anti dengan fenomena hijrah yang identik dengan label akhi dan ukhti pun nggak suka sama account "Indonesia Tanpa Pacaran", hingga pada intinya mereka memiliki kesamaan pemikiran bahwa mereka garda terdepan menolak yang namanya patriarki dan menjungjung tinggi feminis.

Oke, sejujurnya diriku pribadi sangat bersyukur dengan adanya fenomena hijrah ini, mengapa? Karena sekarang anak muda udah nggak malu-malu lagi buat belajar agama dan menghidupkan masjid. Seperti kita ketahui semua lha ya, zaman dahulu kala masjid selalu identik dengan orang-orang sepuh yang nggak gaul banget. Pun agama seakan-akan dibuat dengan super duper kaku dan "hanya" diperuntukan buat kalangan "tertentu". Diriku juga mengalami masa dimana kerudung belum banyak yang pake. Masa dimana waktu itu di sekolah yang pake kerudung muridnya cuman 2 orang aja, dan karena diriku "katanya" sekolah di sekolah favorit yang mayoritas diisi dengan kaum "elite" maka udah biasa banget diriku dikata-katain. Mulai dari dikata-katain bu haji lah, sampeee kampungan dan udik. Kalau ada acara sekolah, diriku yang memakai kerudung ini suka dipandang nyinyir dannn sangat jelas ku dengar mereka bilang kalau diriku super kampungan. Padahal ya, rumahku sama mall aja jaraknya cuman lima menit dan pinggir rumah berjejer tempat nongkrong nak "gaul" hahahha.

Tapi hamdalah, sekarang udah nggak kaya gitu. Mayoritas temen-temen yang suka banget nyinyirin diriku hampir semuanya udah berkerudung. Ya akhirnya diriku nggak suka dinyinyirin lagi kalau bertemu dengan mereka.

So diriku sangat super bahagia. Karena akhirnya kerudung bukan suatu hal yang musti dinyinyirin lagi, tapiii sekarang meski kerudung udah merebak di mana-mana ku suka sedih, kenapa? Karena seakan-akan yang kerudungan dibagi lagi jadi beberapa kelompok. Ada kelompok kerudung gahull, kerudung ukhti-ukhti, sama cadar. Ku sebenernya nggak masalah sih, ya setiap orang punya prosesnya masing-masing. Namuunn ku PALING NGGAK SUKA kalau satu sama lain saling hujat dan menjudge. Heyyy, kita sesama muslim lho nggak pantes kaya gitu. Harusnya kita bisa saling menguatkan dan bikin Islam ini benar-benar agama yang indah dan damai. Masa sesama muslim saling bermusuhan, idiihh nggak asik banget pokoknya kalau gini.

Kerudung walau bagaimana pun udah SOP buat wanita Muslimah. Seperti halnya sholat. Jadi ketika dirimu muslimah, udah otomatis WAJIB berkerudung. Nggak pake tapi. Karena yang namanya perintah dalam Al Qur'an nggak bisa dipilih seenaknya. Termasuk dalam hal berkerudung ini. Dan buat sodara-sodara kita yang belum berkerudung, ya kita do'a kan dan kita rangkul bukan malah dijauhin dan dinyinyirin. 

Jujur ku sempet risih ketika diriku menyarankan adeku buat ikutan pengajian di kampus, dan jawaban ade ku "Aku males ah, mereka itu maunya hanya bergaul sama yang sejenisnya aja (kerudung gede-gede)" duuhhh sungguh diriku sedih. Iya sih ku sempat mendapati tatapan sinis juga, ketika diriku di kampus berteman dekat dengan nonis yg ke mana-mana bawa salib gede dan kalau kita jalan mereka demen banget bersenandung nyanyian rohani. Tapi apakah diriku masuk agama mereka? Tentu aja enggak. Kita sama-sama paham kalau kita beda. Jadi selama temenan kita nggak bahas agama. Malah diriku belajar banyak dari mereka. Mereka nggak pernah alpa berdoa sebelum makan, dannn setiap shubuh mereka juga ada ritual do'a. Menariknya, mereka udah mandi dong seshubuh itu, sementara diriku nggak pernah seprepare itu kalau sholat shubuh. So selama mereka tidak memaksakan atau merayu untuk masuk agama mereka, ya bagiku sih nggak masalah lha ya. Agama menjadi urusan masing-masing. Tinggal bagaimana seorang muslim bisa jadi teladan buat siapapun dan dimana pun. Hingga karena berhasil menjadi contoh yang baik, yang belum kenal Islam bisa jadi kenal Islam bahkan hamdallah kalau sampe masuk Islam. 

Bukankah Rasul pun tidak pernah memaksa seorang nenek buta yahudi untuk masuk Islam? Padahal nenek tersebut benci banget sama Islam. Tapiii Rasul tetep mau ko berbaik hati nyuapin makan nenek tersebut. Hingga Rasul meninggal, dan ritual nyuapin nenek diteruskan sama sahabatnya. Terus nenek nyadar, orang yang nyuapin beliau beda. Hingga nenek itu bertanya "Kemana orang yang biasa menyuapiku?" Mendengar itu, sahabat malah menangis lalu bilang kalau Rasul lah yang biasa menyuapi nenek tersebut dan bilang kalau Rasul sudah wafat. You know what? Seketika nenek itu langsung nangis dan masuk Islam. Yesss seindah itu lah Islam. Rasul aja sama yang nonis nggak pernah nyinyir. Ini masa sesama muslim nyinyirin saudaranya sendiri?

Oke balik ke fenomena hijrah (hahha maafkan kalau rada muter ke mana-mana dulu jelasinnya)

Sejujurnya ku rada risih dengan istilah "jilbab syar'i". Ibaratkan kalau kita nggak pake model kaya gitu, seakan-akan dianggap nggak syar'i. Padahal kan ya, aturannya sangatlah jelas menutup kain kudung ke dada. Jadiii modelnya mah bebas dan kalau udah menutup dada, itu udah syar'i kok. Percayalah 😊. Perkara cadar, kalau yang diriku pahami itu hanya wajib bagi istri-istri Rasul saja. Kalau kita mah kaga wajib. Tapi kalau mau pake sok-sok aja mangga, bebaasss kaga ada yang larang. Tapiiii sejujurnya ku suka risih aja sih sama yang pake cadar tapi masih demeennn selpi di sosmed pun menampakan kalau secara nggak langsung mereka pake makeup juga (terlihat jelas dengan matanya yg penuh dengan polesan pun didukung dengan pose mata genit). Jujur aku pribadi nggak suka sih. Karena gini ya, tujuan pake cadar kan biar lebih menjaga dan terjaga. Tapiiii kalau masih aja berpose dengan tatapan yang penuh polesan sana-sini ya sama aja dong. Hakikat menjaga dan terjaganya malah jadi bias. Malah nih ya, sempet ku denger ada laki-laki yang demen koleksi foto wanita bercadar, katanya sih lebih bikin penasaran aja wajah cantik seperti apa yang berada di baliknya. Seremkan sisss???

Terusss lucunya ku pernah stalking salah satu selebgram yang cadaran ini. Ku risih sebenernya dengan pose-pose centilnya. Terus ada aja netizen yang komen "Cadaran ko masih kaya gitu?" daaannn ia bantailah dengan seribu satu argumen yang pada intinya "Jangan nilai orang dari covernya. Kita tuh masih punya banyak dosa, dan bla.. Bla... Bla" hemmm dan diriku teringat kalimat dosenku sewaktu kuliah psikologi sosial

"Don't judge the book by it's cover. It's banget kaleee"
Menurut dosenku apa yang kita kenakan semacam komunikasi non verbal. Kita mengenakan suatu model pakaian tertentu karena kita pengen dilihat dan dinilai seperti apa yang kita kenakan. Kaya misal orang pake baju tentara, nggak mungkin dong ia pengen dinilai sebagai pegawai bank? Nah hal ini juga berlaku sama model pakaian sehari-hari yang kita kenakan. Kita memilih suatu model pakaian tertentu karena secara nggak langsung kita ingin dinilai seperti itu. Kalau ke kondangan nggak mungkin dong ya pake daster, pun nggak mungkin juga di rumah pake dress kondangan? Nah makanya don't judge the book by it's cover itu it's banget kaleeee. So harus nyadar bin sadar sesadar-sadarnya bahwa apapun yang melekat bakalan jadi penilaian.

Mulut netizen mah emang lambe, tapiii kan jadi lambe karena ada faktor pemicu. Okay, poinnya dapet lah ya. Jadi apapun model pilihan kerudungmu yang penting WAJIB menutup dada, dan ketika memang udah berkerudung jangan lupa juga berprilakulah sebagai mana mestinya.

Selain fenomena hijrah yang identik dengan model pakaian tertentu. Fenomena hijrah juga identik dengan "menikah muda" dan "nggak pacaran". Oke diriku pribadi sih emang belum pernah pacaran, karena pengen pacarannya sama suami aja udah nikah hahaha. Tapi perkara nikah muda, ku setuju dengan pendapatannya ustadz Salim A Fillah. Ku lupa sih redaksi persis kata-katanya seperti apa, tapi intinya beliau bilang

"Kita tidak bisa membandingkan apakah seseorang itu menikah diusia yang terlalu muda atau tidak. Misal ada orang yang menikah usia 22 tahun, tapi ia telah menyiapkan pernikahan dari sejak SMA. Jika SMA ia telah menyiapkan ilmu untuk menikah sejak usia 16 tahun dan ia menikah diusia 22, maka ia telah menyiapkan ilmu tentang pernikahan selama 6 tahun. Bandingkan dengan seseorang yang menikah usia 33 tahun tapi ia baru menyiapkan ilmu pernikahan diusianya yang ke 32, berarti ia hanya menyiapkan pernikahan 1 tahun saja. Pertanyaannya, manakah yang sebenarnya lebih siap untuk menikah?"

Ku sukaaaa sekali dengan pernyataan ini, dan kita semua tau kalau ustadz Salim menikah diawal-alawal kuliah. Karena bahkan beliau telah memersiapkan ilmu pernikahan sejak beliau remaja.

Namuunnn

"Ka aku nggak suka deh sama fenomena hijrah ini. Masa ya kak kalau ada kajian bahas nikah muda jamaahnya sampai banyak banget kak. Tapi kalau lagi nggak bahas nikah muda, jamaah yang datengnya dikit banget lho. Pernah ya kak ku dateng kajian yang bahas nikah muda, itu yang ngaji banyakkk banget kak sampe masjid nggak muat. Pokoknya jamaah sampe ke luar-luar gitu kak. Aku seneng ya awalnya, karena ternyata di daerahku anak muda udah aware sama pengajian. Eh tapi kak pas minggu depannya bahas siroh nabi, ya Allah kak yang dateng dikiiittt banget. Nggak nyampe 30 orang malah. Kenapa sih hijrah musti identik dengan nikah muda? "

Itulah salah satu curhatan yang pernah ku dengar secara langsung. Sejujurnya ku sedih sih, ya harusnya menuntut ilmu itu apalagi ilmu agama ya nggak dipilih-pilih. Ku coba mikir kenapa fenomena nikah muda ini seakan hits banget dikalangan anak muda, dan ya beberapa kali ku denger kajian bareng ustadz-ustadz yang notabenenya banyak difollow oleh kaum milenial, suka ada aja sisipan "Makanya nikah" gitu katanya, padahal nikah nggak sesederhana itu. Butuh banyak persiapan terutama ilmu dannn ku bepikir optimis, "ilmunya udah mereka siapkan kali dengan sangat matang."

Namun diriku beberapa kali kecewa

Ketika diriku hadir di kajian yang bahas nikah muda ini. Apa ya, seakan-akan yang diceritakan itu yang manis-manisnya aja. Terus kalau masih single statusnya, seakan-akan musti segera dibumi hanguskan. Padahal kan nggak kaya gitu ya? Butuh banyakkkk sekali persiapan.

"Tapi kan daripada zina mendingan nikah muda aja"

Iya sih bener, tapiiii apa kamu menikah hanya karena nafsu semata? Apakah dalam pernikahan isinya hanya sebatas hubungan intim? Jawabannya enggak kan ya. Apa lagi kalau dirimu udah punya anak, duuhhh PR kamu bakalan nambah jadi orangtua. Dan heyyyy, didik anak itu nggak semudah membalikan telapak tangan. Banyak banget ilmu yang WAJIB kamu siapkan. 

Pertanyaannya sekarang, jika kamu menikah karena nafsu yang mana setelah menikah kamu memiliki peluang yang sangat besar untuk memiliki anak, maka sejauh mana ilmu parenting yang sudah kamu siapkan?

Jika kamu masih gelagapan jawab pertanyaan diatas, maka coba pikirkan ulang kembali niatmu itu. Karena didik anak dan menjalankan keluarga nggak bisa semengalirnya aja. Nggak boleh asal-asalan, apalagi asal nikah pun asal didik anak.

"Tapi nafsu ini sungguh sudah sangat memuncak, dan hanya akan terpuaskan jika sudah melakukan itu. Ya menikah maksudnya, biar halal melakukannya"

Hemmm ko diriku ngeri ya dengernya. Bahkan Rasul pun memiliki solusi, yaitu berpuasa.

"Tapi nggak bisa, puasa udah nggak mempan"

Oke kalau itu jawabannya, ku mau tanya. Apakah keinginan itu kamu yang mengundang, maksudku kamu belum bisa menjaga pandangan matamu. Apalagi menjaga pandangan dari hal-hal yang haram untuk kamu lihat. Karena apa? Bener banget sih kalau ada pepatah yang mengatakan dari mata jatuh ke hati. Kalau matanya nggak dijaga maka sangat BERPOTENSI BESAR menjadi penyakit hati dan penyakit pikiran. Makanya mikirnya gitu. Kalau kata Aa Gym, jangan salahkan cinta. Karena bisa jadi kamu jatuh cinta karena kamu tidak bisa menjaga pandanganmu. Karena cinta sejati itu ada setelah akad terucap. Kalau akad belum terucap, hemmm waspadalah karena syaitan selalu menjadikan indah apa-apa yang diharamkan.

Jadi kesimpulanku, kamu BEBAS mau nikah diusia berapapun. Ya maksudku minimal telah matang secara psikologis dan biologis. Namun kamu butuh banyak koreksi lagi apa alasanmu menikah. Sejauh mana ilmu yang kamu siapkan untuk mewujudkan suatu pernikahan dan yang nggak kalah penting ilmu parenting. Kalau ilmunya aja belum siap, maka pikirkan ulang kembali deh. Kita kalau mau traveling aja butuh persiapan yang super duper matang, apalagi ini perjalanan pernikahan yang nggak bakalan tuntas dikerjakan 1 atau dua hari saja. Kalau persiapannya nggak mateng, maka secara nggak langsung kamu udah dzolim sama anak. Baik itu anak orang lain (yang jadi pasanganmu) dan dzolim sama anakmu sendiri.

Pokoknya jangan sampe lagi deh ada anggapan "Daripada zina, mending nikah aja". Heyyy, pernikahan itu ibadah yang sangat suci. Menikah nggak semurahan itu. Pikirkan ulang deh kalau alasannya "hanya" karena ini. Kasian tau istri dan anak-anakmu kelak.

Bagaimana dengan ta'aruf?

Akhir-akhir ini, istilah ta’aruf bukanlah suatu istilah yang asing didengar di telinga kita. Istilah ta’aruf biasanya identik dengan cara seseorang melakukan pendekatan kepada calon pasangannya tanpa melakukan pacaran, atau tetap memerhatikan norma-norma yang ada dalam agama. Secara bahasa apabila diartikan, ta’aruf memiliki arti saling mengenal atau berkenalan.

Karena memerhatikan norma-norma didalam agama, maka ta’aruf WAJIB melibatkan orang ke-3. Orang ke-3 ini tentu bukanlah orang yang sembarangan dipilih. Ia merupakan orang yang memiliki pemahaman agama yang sangat baik, pun ia sudah menikah. Mengapa wajib memilih orang yang sudah menikah? Hal ini dilakukan untuk menghindari fitnah dan atau hal-hal yang tidak sesuai dengan norma-norma didalam agama selama proses ta’aruf berlangsung. Orang ke-3 ini biasanya identik dengan guru ngaji atau pihak keluarga yang memiliki pemahaman agama yang sangat baik.

Mengapa WAJIB melibatkan orang ke-3? Agar ketika melakukan proses ta’aruf  ke-2 calon pasangan ini tetap dapat menjaga dari hal-hal yang tidak dibenarkan didalam agama. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sedang berpacaran, seperti halnya khalwat atau berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Jadi tidak benar jika selama proses ta’aruf berdua-duaan atau pergi berdua layaknya sepasang kekasih yang berpacaran seperti, jalan, nonton, makan, foto-foto, dll. Bahkan untuk sekedar “chat” saja, harus melalui orang ke-3 ini atau misal melalui orangtuanya.
Lantas bagaimana cara mengenali calon pasangan kita? Bukankah segalanya dibatasi?

Karena ta’aruf terkesan banyak “membatasi” maka biasanya ta’aruf identik dengan CV. Namun sebenarnya, CV berlaku hanya jika memang kamu benar-benar tidak mengenal orang  tersebut. Jadi apabila kamu telah mengenal orang tersebut, karena misal dulunya kalian adalah teman maka tidak usah ada CV. CV hanya sebatas informasi awal saja untuk mengetahui profil umum calon pasanganmu.

Namun faktanya, menurut salah satu psikolog senior yang sangat saya kenal, kurang lebih sekitar 70% kliennya yang bermasalah didalam hubungan pernikahannya berasal dari yang dulunya menikah karena melakukan proses ta’aruf. Jika seperti ini menurutnya permasalahan terjadi cenderung lebih sulit untuk diselesaikan. Selidik punya selidik, ternyata ta’aruf yang dilakukan hanya percaya kepada CV saja, tanpa dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Oleh karena itu jika kamu menerima CV jangan langsung percaya begitu saja dengan informasi yang dia berikan, terutama informasi mengenai karakteristik dirinya. Logikanya mana ada orang yang akan sangat jujur mengatakan kekurangan dirinya.

Seperti halnya ketika seseorang hendak apply suatu pekerjaan, mana ada orang yang sangat jujur menuliskan di dalam CV bahwa misal dia merupakan tipikal orang yang males, tidak bisa bekerjasama dengan tim, tidak bisa bekerja dibawah tekanan, dll. Dapat dipastikan ketika seseorang hendak melamar pekerjaan saja ia menutupi berbagai hal negatif yang terdapat di dalam dirinya, mengapa? Karena namanya juga masa promosi, pasti lah ya yang ditunjukan adalah yang baik-baiknya saja. Begitupun dalam CV ta’aruf, saya sangat yakin tidak ada satu orangpun yang akan sangat jujur dengan siapa dirinya yang sesungguhnya. Namanya juga masa promosi, tentu saja harapannya adalah diterima dengan sangat baik bukan untuk ditolak.

Lantas bagaimana jika mendapatkan CV? Layaknya perusahaan, kamu wajib melakukan tes berikutnya yaitu wawancara dan tes psikologi. Namun bukankah cukup bertanya kepada orang-orang terdekatnya? Jawaban saya tidak, mengapa? Karena logikanya mana ada orang yang mau membuka aib orang lain apa lagi itu merupakan orang terdekatnya. Jadi ketika kamu mendapatkan informasi dari orang terdekatnya, jangan sampai kamu langsung percaya 100% begitu saja.
Jadi apa yang harus dilakukan ketika melakukan proses ta’aruf?
Berikut beberapa tips yang bisa kamu lakukan ketika melakukan proses ta’aruf :

1.    Kepo medsos! Hal ini hukumnya mutlak bin wajib. Karena kita akan sangat mudah menilai gambaran umum seseorang seperti apa melalui media sosialnya. Lihatlah apa postingan yang sering ia tampilkan, jika ada yang memberikan komentar pada postingannya perhatikan bahasa yang ia gunakan untuk membalas postingan tersebut. Siapa teman-teman di media sosialnya, meski tidak menjamin 100% yang berteman dengannya di media sosial merupakan orang yang benar-benar dia kenal, setidaknya dengan ini memberikan banyak gambaran dalam lingkungan seperti apa dia bergaul. Selain itu, kamu juga bisa mengecek account apa saja yang ia ikuti pun postingan seperti apa yang biasanya ia like, dll

2.    Buatlah genogram keluarga! Seperti penjelasan sebelumnya, dengan membuat genogram maka kalian berdua akan mengetahui asal-usul keluarga kalian seperti apa pun dengan permasalahan-permasalahan secara turunan itu apa saja, dll. Melalui informasi yang terdapat di dalam genogram, kita akan mengetahui dan memahami kiranya luka batin seperti apa yang dimiliki oleh kita dan calon pasangan. Luka batin yang berujung kepada emosi warisan yang akan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menjalankan pernikahan

3.    Datangi psikolog atau grafolog! Biarkan mereka menilai secara objektif kejiwaan kalian berdua. Hal ini dilakukan untuk melihat kiranya potensi masalah seperti apa yang akan dihadapi jika kalian menikah

4.    Emotional healing theraphy. Setelah hasil konsultasi dengan ahli didapat, lakukan proses terapi melepaskan emosi negatif atau yang dikenal dengan healing luka batin yang diakibatkan oleh inner child. Mengapa hal ini dilakukan? Karena luka batin memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi pernikahan yang akan kalian jalankan kelak, pun ketika nanti kalian berdua menjadi orangtua. Singkatnya, perlakuan orangtua kepada kita akan memberikan rekam jejak terdalam dalam pikiran bawah sadar kita. Dimana ketika memutuskan untuk menikah dan menjadi pasangan, secara otomatis tanpa kita sadari kita akan menjadi peniru ulung bagaimana sikap orangtua dulu ketika menjadi pasangan. Begitu pula ketika kita menjadi anak, maka kita akan banyak belajar akan sikap orangtua kepada kita selama proses pengasuhan, dan terdapat kemungkinan besar kitapun akan meniru cara mereka mengasuh kita.

Jika memang contoh yang diberikan oleh orangtua kita baik, tentu saja itu bukanlah suatu masalah. Namun jika sebaliknya, maka itu akan menjadi masalah terutama terhadap pernikahan yang akan dijalankan. Semakin seorang anak menyayangi orangtuanya, maka ia akan menjadikan orangtuanya sebagai contoh terbaik dalam hidupnya. Begitupun sebaliknya, ketika seorang anak semakin membenci orangtuanya maka ia pun akan meniru sikap orangtuanya tanpa pernah ia sadari.

Singkatnya, pernikahan dan pengasuhan yang dijalankan sesederhana melakukan copy paste terhadap sikap orantua kita dulu. Oleh karena itu, ketika kita menyadari bahwa kita menerima perlakuan negatif dari orangtua, maka sebelum menikah kita WAJIB melakukan proses healing. Proses ini digunakan agar kita tidak dzalim terhadap pasangan maupun anak. Bukankah didalam Al Qur’an dijelaskan bahwa kita tidak boleh meninggalkan generasi yang lemah? Oleh karena itu lakukan lah healing theraphy sebelum semuanya terjadi. Dengan jiwa yang bersih, jiwa yang terbebas dari luka batin dimasa lalu maka insya Allah kita akan dapat membangun hubungan pernikahan yang jauh lebih berkualitas. Bukankah pernikahan berkualitas merupakan pernikahan impian semua orang?  

5.    Istikharah. Setelah melakukan berbagai analisis pun dibarengi dengan ikhtiar yang optimal, maka tugas kita hanyalah menyerahkan semuanya kepada Allah. Mintalah petunjukNya, apakah benar ia orang yang tepat dan layak untuk membersamaimu kelak?

         Namun, dua orang yang baik belum tentu cocok untuk menikah. Oleh karena itu, kalian WAJIB melakukan diskusi mengenai hal-hal yang akan kalian jalankan ketika kalian memutuskan untuk menikah. Seperti diskusi mengenai cita-cita setelah menikah, pembagian peran didalam keluarga, gaya pengasuhan yang akan kalian terapkan, dll. Hal ini dilakukan lagi-lagi untuk mempertimbangkan apakah kalian benar-benar cocok untuk menjalankan pernikahan ke depannya.

         Ko terkesan ribet ya? Bagaimana kalau pacaran saja, pacaran yang lama biar lebih saling mengenal. Tentunya dalam hal ini pacaran bukanlah solusi yang tepat, mengapa? Karena tidak ada jaminan meski puluhan tahun pacaran kamu bisa mengenal dia seutuhnya. Hal ini dikarenakan pacaran dapat dikatakan sebagai masa promosi. Masa dimana seseorang berusaha seoptimal mungkin mengeluarkan sisi terbaik dari dirinya. Namanya juga masa promosi, masa iya dia mengeluarkan sisi buruk dari dirinya. Oleh karena itu, sering kali kita dengar seseorang berubah setelah menikah. Dengan kata lain, sosok manis yang dikenal selama pacaran berubah menjadi sosok yang begitu menyebalkan setelah menikah.

Selama pacaran, jika ada suatu hal yang tidak menyenangkan maka berusaha ditahan-tahan agar emosi tidak meledak hingga menimbulkan kemarahan. Mengapa hal ini terjadi? Karena ketika berpacaran terdapat suatu ketakutan apabila kehilangan orang yang dicintai. Namun ada juga ko yang selama berpacaran kalau marah ya marah saja, tidak pernah jaim. Nah, jika hal ini terjadi coba pikirkan kembali karena masa pacaran saja misal level marahnya berada dilevel 5 sangat besar kemungkinan setelah menikah marahnya menjadi naik ke level 50. Masa promosi saja sudah tidak mampu menahan emosi, apa lagi sudah tidak promosi. Jadi masih yakin mau pacaran lama? Dosa iya, jodoh juga belum tentu.

Anyway, meski semua ikhtiar telah dilakukan pun pada akhirnya kalian memutuskan untuk menikah, bukan berarti pernikahan kalian ke depannya akan berjalan tanpa masalah. Badai dalam pernikahan SELALU ada, pun dalam setiap tahapan perkembangan keluarga yang ujiannya berbeda-beda. Karena setelah menikah yang dinamakan dengan beradaptasi itu ya dilakukan setiap hari, mengapa demikian? Karena yang dinikahi merupakan manusia bukan benda mati, oleh karena itu ujiannya pasti ada saja. Oleh karenanya, menikah disebut sebagai ibadah dengan durasi yang sangat lama karena bahkan ujian ibadah didalam pernikahan bahkan terjadi disetiap detik.

Melalui berbagai proses yang mungkin terkesan ribet ini, bukan berarti mencari sosok yang sempurna. Tidak seperti itu, karena diri kitapun bukanlah sosok manusia sempurna. Semua proses dilakukan untuk mengukur diri dan calon pasangan, seberapa besarkah kemungkinan kalian bisa bersama jika menikah. Dengan kekurangan dan kelebihan baik yang dimiliki oleh pasangan maupun yang dimiliki oleh diri sendiri, seharusnya justru memang harus jadi semakin saling menguatkan satu sama lain. Karena menikah hanya dianggap ibadah hanya jika melalui pernikahan seseorang bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi, baik secara sosial; emosi; bahkan spiritual.

Well, aku pernah denger beberapa kali ada kasus yang menikah dengan proses "ta'aruf" ini dan dengan begitu aja lamarannya langsung diterima. Jadi seorang laki-laki yang ditemenin ustadznya secara langsung gitu aja nyamperin rumah perempuan dan detik itu juga ngelamar. Entah gimana pemikirannya, pokoknya itu perempuan dan keluarga detik itu juga menerima lamarannya dan mempercepat proses pernikahan. So, jika sikonnya kaya gitu, menurutku ini terlalu beresiko sih mengapa? Karena satu sama lain belum ada proses cross check. Anehnya lagi, itu ustadz yang menceritakan hal tersebut menganggap kalau hal itu sungguh sangat luar biasa dan patut untuk dijadikan contoh. Jujur sejujur-jujurnya, diriku yang menyimak kajian tersebut langsung gemes. Soalnya menikah nggak sesimple itu juga. Menikah butuh banyak banget hal yang dianalisis. Diriku super nggak setuju kalau cek dan ricek aja belum, tapi udah langsung menentukan tanggal menikahnya kapan. Aku tekankan ya, aku emang nggak pacaran dan nggak setuju sama pacaran, tapi nggak kaya gini juga caranya. 

Aku tuh ibarat kata, udah bosen sebosennya dengerin curhatan ibu-ibu yang nggak betah sama pernikahannya. Efeknya apa? Jelas aja hidupnya nggak bahagia pun hal ini berdampak sama parenting yang diterapkan. Gini lho ya, orang yang nikahnya aja berdalih "Kita udah saling kenal ko", itu aja sering banget ku denger nggak harmonis pas jalanin pernikahannya, lha ini yang sama sekali nggak pake kenalan pun melakukan berbagai analisis dulu sebelum nikah hanya dengan alasan "Menikah itu ibadah, makanya lebih baik disegerakan" iya sih ibadah, tapi apakah bakalan jadi ibadah kalau pas nikah kerjaannya cek-cok mulu, perang dingin, saling menyakiti, dll. Bukankah sholat aja yang bener itu kalau ngejalaninnya tumaninah alias dinikmati gitu. Lha ini ko jadi terkesannya buru-buru ya. Bahkan nih Siti Khadizah aja untuk meyakinkan diri menjadikan Rasul sebagai suaminya, itu beliau melakukan pengamatan dan analisis yang lamaaaaa bangeettt. Beliau menganalisis dan mengamati Rasul itu ada kali sekitar 3 tahun. Hal ini dilakukan bahkan dengan mengirim orang kepercayaan beliau untuk mengamati setiap gerak-gerik Rasul. Baru setelah itu beliau mempertimbangkan, apakah Rasul pantas dijadikan suaminya. See? Nggak semudah dan seinstan itu beliau menilai, bahkan itu sekelas Rasul lho yang nggak ada cacatnya sama sekali. Lantas bagaimana kita yang seujung jari Rasul aja masih dikatakan belum mirip? Jadi masih yakin mau buru-buru memutuskan dengan dalih "Ibadah dan harus disegerakan"


“Sukses dalam pernikahan tidak selalu karena menemukan asangan yang terbaik, namun dengan menjadi pasangan terbaik”

-Barnett R.Brickner-




Oke, sekarang kita beralih ke ngomongin poligami

Well, poligami itu pilihan sih. Mau dilaksanakan silahkan, enggak juga nggak apa-apa. Tapi yang paling berat sebenernya menurutku itu suami sih ya. Soalnya dengan ia memutuskan untuk melakukan poligami, maka ia secara bersamaan akan melaksanakan fase perkembangan keluarga yang berbeda. Jadi misal kalau posisinya ia udah punya anak usia ya remaja lah dari istri yang pertamanya, terus ia nikah lagi. Nah berarti suami ini bakalan ngejalanin fase jadi pengantin baru lagi kan dengan istri barunya, pun disisi lain dia juga menjalankan fase perkembangan keluarga dengan anak usia remaja (saya membahas lebih dalam family life cycle di sini ). 

Satu fase perkembangan keluarga itu udah luar biasa tugas dan tantangannya banyak banget, apa lagi misal ini ngerjain 2 atau bahkan 3 atau 4 sekaligus. So, KEREN banget sih kalau bisa jalankan kesemuanya dengan sangat baik. Tapi lebih baik pikirkan lagi deh. Koreksi dulu gitu perjalanan keluarga yang pertama, apakah beneran yakin udah dijalankan dengan baik? Dan satu hal lagi bagi para pria yang ingin poligami, tanyakan ke dalam diri "Apakah kalau kamu punya anak perempuan, kamu siap dan nggak apa-apa kalau anak perempuanmu dipoligami?" 

Gender

Beralih ke ngomongin gender. Entah kenapa kalau ngomongin gender selalu identik sama ngomongin feminis, dimana kalau udah ngomongin feminis berarti identik sama ngomongin patriarki. 

So, disini ku bakalan mencoba membahas apa dan bagaimana gender yang identik sama feminis itu. Sebenernya kan ya, gender itu nggak melulu ngomongin perempuan lho ya. Termasuk ngomongin gender juga kalau ngangkat kasus misal kekerasan yang didapatkan oleh pria, atau anak (misalnya). Tapi karena kita bakalan bahas gender yang sangat identik dengan feminis ini, maka yang jadi fokusnya hanya itu aja ya.

Well, diriku belajar gender lebih dalam pas kuliah sih. Jadi nama mata kuliahnya itu Gender dan Keluarga. Dosennya salah satu dosen favoritku  yaitu Dr. Ir. Herien Puspitawati., M.Sc., M.Sc (beliau mengambil S2 dua kali mengenai keluarga dan gender di USA). Selain itu beliau juga merupakan anggota tim pakar Gender nasional di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tim pakar grand design pembangunan kependudukan 2010-2035 di Kementrian Sosial-RI, dan Ketua Bidang Ketahanan Keluarga di Pusat Kajian Gender dan Anak PKGA) LPPM IPB,  dan dari beliau lah diriku banyak belajar. Kenapa ku jeberkan semua ini? Biar nggak ada pemikiran ini hanya subjektif opiniku saja, tanpa ada landasan akademis yang jelas, pun belajar langsung dari ahlinya. 

Uniknya kebanyakan orang yang ngomongin gender ternyata pendapatnya super berbeda dengan beliau yang memang benar-benar mengkaji ini langsung ke negara tempat berkumpulnya para feminis. Bahkan seperti yang udah ku bilang, beliau sampai dua kali ngambil S2 mengenai keluarga dan gender, pun pas di USA sana beliau sering banget terlibat dalam berbagai penelitian mengenai gender ini.

Balik lagi ke ngomongin gender. Sebenernya kata beliau, ketika beliau mau membuat mata kuliah gender dan keluarga, itu banyak banget pertentangannya. Karena konsep gender identik dengan teori konflik sosial sementara keluarga identik dengan konsep teori struktural fungsional, dimana dua teori ini merupakan teori yang super duper bertentangan, jadi nggak mungkin bisa disandingkan, namun sebenarnya beliau berpendapat justru gender dan keluarga itu sangatlah tidak bisa dipisahkan. Erat banget kaitannya. Karena sebenernya, setiap orang itu belajar konsep gender pertama kali itu dari keluarga. Jadi sangat mungkin terdapat perbedaan pemikiran mengenai gender pada setiap orang, karena dilatar belakangi keluarga yang berbeda-beda.

Mari kita mulai membahas gender ini dengan 

1. Nature (kodrat) VS nurture (non kodrat)

Ini pemahaman dasar yang harus bener-bener dipahami sebelum ngomongin gender lebih jauh. Soalnya suka lucu aja sih, orang ngomongin gender tapi sebenernya konsep dasar antara kodrat dan non-kodrat aja masih salah. Jadi gini ya, kodrat itu udah bawaan dari lahir dan nggak bisa diutak-atik alias alamiah. Misal kalau perempuan itu udah kodratnya punya rahim, menstruasi, punya payudara yang bisa dipake buat menyusui, hamil, melahirkan, dan dibuahi. Sementara kalau laki-laki itu kodratnya punya sperma makanya bisanya membuahi, punya jakun. 

Sementara non kodrat itu kaya misal masak, beres-beres, ngasuh anak, dll. Jadi udah SALAH BESAR kalau masih aja ada yang ngomong "Perempuan kan kodratnya di rumah dan ngurusin rumah plus anak. Kodratnya perempuan itu ya gitu. Makanya kalau keluarga nggak bener ya itu salahnya perempuan dong. Ngurus anak dan didik anak juga kodratnya perempuan. Kodratnya laki-laki itu ya cari uang, dll" Hey, itu pendapat yang super SALAH. Iya, SALAH FATAL. Karena gini lho ya, yang namanya kodrat itu nggak bisa dipertukarkan contohnya hamil. Masa iya kalau istri cape hamil terus tukeran gitu hamilnya sama suami? Ya enggak kan. Nah jadi, nature dan nurture itu dua hal yang sangat berbeda. Kalau hal tersebut masih bisa dikerjakan sama lawan jenis, itu namanya non kodrat. Kaya misal beres-beres rumah dan masak, laki-laki juga bisa dong ya ngerjain ini. Nggak dosa kan ya kalau mereka ngerjain pekerjaan rumah. Nah itu, itu namanya nurture alias non kodrat. Paham ya sampai situ.

Istilah gender pertama kali dikenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan (kodrat) dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil (non-kodrat). Perbedaan konsep gender inilah yang secara sosial telah melahirkan perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Namun, kebudayaan yang dimotori oleh budaya patriarki lah yang menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi indikator kepantasan dalam berprilakuyang akhirnya berujung kepada pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol, dan menikmati manfaat dari sumber daya dan informasi.

2. Apa itu patriarki?

Patriarki adalah bentuk kekerabatan dengan keluarga inti yang mengacu kepada keturunan laki-laki. Nah lawannya patriarki ini adalah matriarki, kalau matriarki itu sebaliknya jadi mengacu kepada keturunan perempuan.

Jadi kalau dikembalikan ke dalam realita keluarga, patriarki ini menempatkan laki-laki sebagai pusat segala pusat. Sementara posisi perempuan sebagai subordinasi. Laki-laki memiliki posisi sebagai kepala keluarga dan diberi label sebagai pemimpin serta pencari nafkah utama. Oleh karena itu, laki-laki identik dengan pengambil keputusan utama baik itu didalam keluarga maupun di dalam masyarakat.

Subordinasi ini lah yang menyebabkan perempuan memiliki posisi yang terpinggirkan. Perempuan identik sebagai ibu rumah tangga dan istri yang selalu berada di belakang bayang-bayang suami, berikut beberapa contoh patriarki yang diterapkan didalam keluarga :

1. Peran perempuan di sektor domestik (rumah) dan peran laki-laki di sektor publik
2. Keharmonisan rumah tangga merupakan tanggung jawab perempuan
3. Pendidikan diutamakan untuk anak laki-laki
4. Laki-laki tabu untuk mengerjakan pekerjaan rumah
5. dll

Kenapa konsep gender banyak dipertentangkan?

1. Berasal dari negara barat, sehingga sebagian masyarakat menganggap bahwa gender merupakan propaganda nilai-nilai barat yang sengaja disebarkan untuk mengubah tatanan masyarakat khususnya di Timur

2. Merupakan gerakan yang membahayakankarena dapat memutar balikan ajaran agama dan budaya. Karena konsep gender berlawanan dengan kodrati manusia

3. Berasal dari kemarahan dan kefrustasian kaum perempuan yang menuntut haknya untuk menyamai laki-laki

4. Adanya mindset yang sangat kaku dan konservatif di sebagian masyarakat terkait pembagian peran antara perempuan dan laki-laki seperti : kodrat perempuan adalah mengasuh anak dan kodrat laki-laki adalah mencari nafkah

Sejararah singkat pergerakan feminisme

Gerakan feminisme merupakan gerakan konflik sosial yang dimotori oleh para tokoh feminisme dengan tujuan untuk mendobrak nilai-nilai lama (patriarki) yang selalu dilindungi oleh kokohnya tradisi struktural fungsional. Gerakan ini dimulai di Barat sekitar tahun 1960an. Beberapa kali feminis menuduh keluarga sebagai perangkap yang membuat perempuan menjadi budak. Singkatnya, gerakan feminis ingin menghancurkan nilai-nilai patriarki dimana kalau menurut Megawangi (1999) ciri khas gerakan feminis ingin menghilangkan institusi keluarga atau paling tidak mengadakan defungsionalisasi keluarga, atau mengurangi peran institusi keluarga dalam kehidupan masyarakat.

Gender seperti apa yang cocok diterapkan di Indonesia?

Sejujurnya ini merupakan salah satu pertanyaan yang ke luar pas ujian sih hahah. Ketika saya menjawab soal ini, saya teringat ketika dosen saya menemui senior-senior feminis yang sudah berumur. Kurang lebih begini ceritanya

"Saya sewaktu di Amerika menemui orang-orang feminis yang sudah tua, dan kalian tau apa yang mereka bilang kepada saya? Mereka kompak menjawab bahwa mereka menyesal menjadi feminis. Bahkan mereka bilang, bebasnya pergaulan di Amerika merupakan dampak dari adanya gerakan feminis. Mereka sedih karena kini di Amerika kehidupan seakan tidak terkendali. Sangat banyak anak-anak lahir tanpa bapak, free sex merajalela, narkoba, penyalah gunaan senjata tajam, remaja yang hamil di luar nikah, melahirkan diusia dini. Seandainya waktu bisa diputar, mereka tidak akan melakukan itu"

Yaaa, kurang lebih kaya gitu cerita yang dosen saya sampaikan. See? Separah itu lho dampak dari gerakan feminis yang selalu berusaha untuk menghancurkan nilai-nilai patriarki. Norma-norma dalam keluarga hilang. Permasalahan sosial yang merajalela. Apakah hal itu diinginkan pula apabila terjadi di Indonesia? Diriku sih yakin, kita semua tidak menginginkan hal-hal seperti itu terjadi.

Well, diriku SANGAT TIDAK SETUJU kalau perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama terhadap akses, seperti halnya pendidikan. Diriku juga nggak setuju kalau aktualisasi diri seorang perempuan hanya dibatasi di rumah aja. Perempuan sangat berhak untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Perempuan sangat berhak mengaktualisasikan dirinya diranah publik. 

Lantas masalahnya dimana? Bukankah berarti jika seperti itu patriarki wajib dibumi hanguskan?

Oke, sebelum membahas patriarki yang musti dimusnahkan kita balikin lagi deh bahasan kita ke dalam keluarga. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, individu belajar konsep gender pertama kali itu di dalam keluarga. Nah, kalau dibalikin ke teori maka keluarga itu poisinya ada di teori struktural fungsional. Oleh karena itu, secara otomatis di dalam keluarga bakalan ada yang namanya hirarki, dimana hirarki tertinggi di dalam keluarga adalah kepala keluarga yang otomatis identik dengan laki-laki.

Kenapa feminis intinya tidak suka dengan patriarki yang berujung pada pemikiran bahwa keluarga harus dihilangkan? Karena jelas, dengan keluaga yang otomatis patriarki maka yang menjadi pimpinan dalam keluarga adalah laki-laki. Mereka nggak suka kalau laki-laki memimpin, karena akan menjadi penghambat akan berkembangnya potensi diri/aktualisasi diri perempuan. Sementara mereka berpikir meski keluarga ya harus setara, maksudnya perempuan dan laki-laki posisinya 50:50. Nggak ada cerita yang lebih tinggi atau yang lebih rendah. Namun coba kamu bayangkan, jika ini diterapkan akan seperti apa jadinya keluarga? Inget lho ya, keluarga itu ibarat perahu yang mana pengemudinya satu orang. Kalau yang mengemudikan dua orang, udah otomatis dong ya perahu nggak bakalan bisa berlayar dengan benar.

Sederhananya gini, misal yang membuat keputusan dalam keluaraga itu kan satu orang. Jadi udah otomatis harus ada salah satu yang mengalah. Nggak bisa dong, ada dua keputusan berbeda. Kalau kaya gitu bukan keluarga namanya. Terus terkait anak, nggak bisa dong dua-duanya ambisius ngejar karir. Kalau menikah dan punya anak, udah otomatis harus ada salah satu yang mengorbankan karirnya. Nggak bisa masih sama-sama ambisi dan anak diserahkan pengasuhannya ke pihak lain (nany). Maksudku gini, boleh suami-istri dua-duanya kerja. BOLEH BANGET, tapi diperhatikan juga jam kerjanya. Jangan sampai suaminya pulang ke rumah setiap jam 10 malem dan istrinya juga pulang jam segitu. Ya, harus ada yang ngalah dong pulang lebih dulu, atau terkait jabatan. Ya keren sih kalau bisa sampai mentok jabatan tertinggi, tapi yakin keluarga ikhlas dikorbankan? Gini lho ya, keluarga itu ibarat bola kaca dan karir itu ibarat bola karet. Kalau bola kaca pecah, ya bisa sih dilem lagi tapi kan meninggalkan retak alias nggak balik kaya semula. Sementara karir, kalau hancur ya bisa dibangun lagi. Kalau Karir hancur, sangat bisa keluarga menjadi garda terdepan yang memberikan support. Lha kalau keluarga hancur, emang yakin karir bisa jadi garda terdepan buat support, yang ada malahan permasalahan keluarga sangat bisa menjadi penghambat optimalnya menjalankan karir (kinerja).

Terus misal, ketika institusi keluarga undah dianggap nggak penting, dan free sex itu udah suatu hal yang sangat lumrah. Well, kalau katanya teori Maslow sex itu berada dalam kategori basic needs. Ibarat kata, setara dengan kebutuhan makan dan minum. Tapi pertanyaannya, kalau melegalkan free sex lantas apa bedanya manusia dengan hewan? Oleh karena itu, ku sempet mikir kenapa sih agama sampai mengatur "hubungan ini", kenapa musti menikah baru boleh. Karena ketika menikah, ada tanggung jawab yang mengikat. Kalau udah nikah, hubungan sosial antara suami dan istri nggak bisa seenaknya diputuskan begitu aja (cerai). Malahan ya, proses cerai itu ribeettt banget. Apa lagi kalau di Islam, itu pertimbangannya banyaaakkk. 

Coba bayangin, kalau free sex merajalela. Bakalan berapa banyak lagi anak yang terlahir tanpa bapak? Berapa banyak anak lagi yang mengundang ibunya buat melakukan aborsi? Berapa banyak anak lagi yang pas lahir ditelantarkan gitu aja, berharap ada warga berhati malaikat yang mau ngurus dengan sukarela? Coba bayangin deh, gimana rasanya jadi anak yang nggak tau orangtuanya, sedih kan? Nah makanya, mikirnya harus sampai sana.

Tapi kan, bisa banget lho seft sex. Ya pake pengaman gitu

Well, nggak ada yang bisa jamin sih pengaman nggak bocor. Begitu pun dengan berbagai upaya yang dilakukan agar tidak terjadi kehamilan, atau parahnya kalau kepalang hamil berusaha buat aborsi. Bahkan ku sempat mendengar sendiri secara langsung dari salah satu panti kalau ada anak yang berusaha digugurkan, tapi entah mukjikat seperti apa itu anak tetep hidup, dan mungkin karena panik itu anak masih hidup, akhirnya itu anak di simpen di lorong rumah sakit. Apa yang terjadi kemudian? Itu anak meski wujudnya cakep banget, diusia yang masih sangat kecil udah musti pake alat bantu dengar kaya lansia. 

Ada juga cerita sedih lainnya. Jadi pernah kemaleman di salah satu panti. Nah habis sholat anak-anak panti itu dibimbing buat do'a bareng sama ustadznya. Part yang paling berhasil bikin nangis, ketika itu ustadz memandu buat do'a kedua orangtua. Yess, bisa bayangin dong sedihnya mereka kaya apa. Mereka banyak juga yang nangis kejer pas do'a itu. Ya, itu kan do'a buat orantua ya. lha mereka sendiri nggak pernah tau orangtuanya kaya gimana. So, pikirkan dengan matang dan sebaik mungkin. Kita nggak boleh egois dan tunduk karena nafsu yang sebenarnya diciptakan dan diundang sendiri oleh diri kita. Kalau sampe kejadian, deu dosanya udah super dzolim sama generasi ke depan alias anak-anak.. 

Selain itu, kalau anak dilahirkan tanpa sosok bapak maka secara otomatis dia bakalan kehilangan figur bapak. Padahal kan, masa-masa awal sebagai anak-anak itu, salah satunya adalah masa dimana ia melakukan identifikasi gender. Dia belajar bahwa di dunia ini ada dua jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki. Bahkan sekitar usia 4 tahun terjadi jatuh cinta yang pertama kali (menurut psikoanalisis), yang dikenal dengan istilah oedipus complex (perasaan romantis anak laki-laki terhadap ibunya, dan cemburu kepada bapaknya karena dianggap menjadi saingan dalam memperebutkan "perhatian" ibu) dan electra complex (seperti oedipus, tapi ini antara anak perempuan dan ayahnya). 

Nah apabila anak tidak melewati fase ini secara optimal (fyi, hal ini akan bergeser ketika anak memasuki usia remaja. Ketertarikan awal kepada orangtua akan beralih kepada sosok idola atau teman lawan jenis) maka tangki cinta anak akan kosong. Tangki cinta yang seyogiannya diisi penuh oleh kedua orangtua, namun kosong salah satu. Oleh karena itu, kemungkinan yang terjadi ada dua yaitu : anak akan mencari "cinta lain" agar terpenuhi contohnya kasus play boy atau play girl, dan akan menjadi sosok sebaliknya (maksudku kenapa ada laki-laki yang kemayu dan perempuan yang maskulin). Bahkan seremnya lagi, hal-hal seperti ini bisa banget berujung kepada kasus penyimpangan sexsual (LGBT). Jadi kalau menemukan kasus LGBT ini, hal pertama yang bisa dicross check adalah bagaimana hubungan dia dengan orangtuanya, dan jangan heran pelaku LGBT emang mayoritas memiliki hubungan yang buruk dengan orangtua/keluarga.

See?

Masih yakin mau menambah daftar panjang permasalahan sosial di Indonesia tercinta ini?

So balik lagi ke pertanyaan, konsep gender seperti apa yang pantas diterapkan di Indonesia?

Jawabanku pun ini telah divalidasi dosen (penting banget ya hahaha), adalah tetep kita menerapkan budaya patriarki. Namun patriarki yang tidak rigid dan konservatif. Patriarki yang masih memberikan kesempatan kepada perempuan untuk mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Kalau kata mentor saya Bang Ali, mengabdi di dalam keluarga itu kewajiban dan bermanfaat untuk lingkungan sekitar (publik) itu pilihan yang merujuk kepada kewajiban, mengapa? Masa iya diri kita keberadaannya hanya dibatasi agar bermanfaat untuk keluarga saja? Di luar sana ada begitu banyak orang yang membutuhkan potensi diri kita juga. Singkatnya, kita bukan hanya manfaat buat keluarga aja tapi masyarakat juga.

Bukankah Islam pun mengajarkan hal demikian?

Bagaimana seorang Siti Khadizah yang super duper sukses menjalankan bisnisnya, Siti Aisyah yang dengan kecerdasannya bahkan menjadi guru juga untuk para sahabat Rasul. Hal ini bahkan Islam ajarkan sebelum lahir gerakan feminis. So, saya rasa kebebasan perempuan untuk mengaktualisasikan diri di ranah publik bukan berarti dengan cara menghancurkan patriarki atau membumi hanguskan keluarga dan mengaburkan nilai-nilai didalamnya. Justru keluarga bagi saya seperti aset masa depan, yang bisa banget dijadikan wadah pendidikan berkualitas untuk melahirkan dan membentuk generasi-generasi emas pembangun peradaban. 

Jadi, saya nggak setuju pake banget kalau patriarki dihancurkan. Namun memang dalam penerapan patriarki konservatif udah jadi PR bersama buat memerbaiki hal-hal yang emang membatasi aktualisasi diri perempuan. Pun juga kalau dibalikin ke keluarga, yang namanya keluarga itu udah otomatis jadi tanggung jawab suami dan istri. Kaya misal mendidik anak, ya bukan tugas ibu aja tapi bapak juga wajib mengambil peran selama proses berlangsung. Jadi kalau anak bandel, nggak bisa menyalahkan 100% perempuan (ibu) ya introspeksi juga sebagai bapak apakah udah memberikan peran optimal dalam pengasuhan?

So lagi-lagi sih saya bilang, memersiapkan diri sebelum nikah itu emang rada-rada ribet sih. karena ketika berkeluarga udah otomatis tanggung jawabnya jadi banyak. Ketika kita mencintai seseorang dan mengukuhkan diri dalam ikatan pernikahan, jangan lupa suatu saat nanti ketika Allah mempercayakan anak maka kita juga wajib udah siap jadi orangtua, nggak pake tapi. Oleh karena itu, pikirin lagi alasan kamu kalau masih berpikiran "buru-buru nikah". Iya sih nikah itu ibadah, tapi apa bakalan jadi ibadah kalau pas jalanin justru malah saling menyakiti?

Ya begitulah kira-kira beberapa hal yang pengen saya sampaikan (maap nih ye suka nggak konsisten pake kata "saya" terus jadi "Aku" hahaha). Nulis ini bukan apa-apa sih, karena suka ade aje yang nanyain masalah ini. Masalah yang berkaitan sama fenomena hijrah ini. Fenomena hijrah yang juga merembet ke hal-hal seperti nikah muda bahkan poligami (sebagian sih, btw di IG sampe ada accountnya boleh dicek dan dipelajari). So, balik lagi sih menurutku ya namanya hidup ya pilihan. Kita semua udah dewasa dan tau bagaimana konsekuensi atas semua keputusan yang kita ambil.







Nb : Ini ditulis awalnya ada kali 2 minggu yang lalu pas masih di Bandung. Terus selama perjalanan ke Tasik di kereta nulis ini, nyampe rumah ke skip karena beberapa kerjaan (alesan hahaha) dan mentok (ini sih yang paling bener) mau nulis apaan lagi. Hamdallah, akhirnya kelar juga pas har Jum'at berkah. Ambil manfaatnya buang yang jeleknya. So seperti slogan warung Nasi Padang "Kalau bagus ceritakan ke teman, tapi kalau jelek hubungi kami" hahahaha. 





















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Between of 2 Type (INTJ-INFJ)

Kenal sama MBTI itu pas kuliah Pengantar Psikologi, dan hasilnya langsung nunjukin kalau saya tipe INTJ. Hmmmhhh... Dan INTJ ini tetep konsisten ada pada diri saya. Pokoknya pas saya nyoba lagi ngisi tes MBTI, hasilnya PASTI INTJ, hingga entah ada angin apa suatu ketika saya iseng ngisi lagi di tempat yang berbeda dan hasilnya berubah jadi INFJ. Saya di sini nggak akan ngejelasin tetek bengek ciri-ciri INTJ or INFJ itu kayak gimana. Pokoknya kalau penasaran, ya tinggal googling aja. Banyak bangeett ulasan keduanya. Pokoknya di sini saya bakalan ceritain keajaiban menjadi seorang wanita INTJ yang adakalanya berubah jadi INFJ :D. Entah kenapa dari saya kecil, saya suka ngerasa beda sama temen-temen cewe saya. Beda aja, nggak tau kenapa. Beda karena saya doyan manjat-manjat, nggak suka dipanggil "eneng" (panggilan buat anak cewe Sunda) yang emang kedengerannya feminim banget, suka mikir yang aneh-aneh yang nggak pernah orang lain pikirin (jadi waktu saya TK saya berusaha ker

Bahagianya Menjadi Anak IKK (Ilmu Keluaraga dan Konsumen)

Milih jurusan itu udah kaya milih jodoh, karena salah-salah milih malah bikin pengen cepet-cepet pisah. Daaann...inilah aku sekarang, di departemen yang sangat aku cintai IKK =* Masih banyak banget orang di luar sana yang memandang sebelah mata sama jurusanku ini, utamanya ngelihat judulnya yang mungkin ya dirasa sangat simple dan semua orang biasanya melalui tahap itu, keluarga. Eniwei, meski enggak belajar IKK pun banyak yang masih beranggapan kalau keluarga itu bisa banget dipelajari dengan mudah, jadi enggak usahlah buang waktu kuliah buat mempelajari hal yang kayak begini -,-". Ya..namanya juga pendapat orang yang enggak tau, well seenggaknya dengan banyak anggapan seperti itu justru bagiku malah makin penasaran sama jurusan ini, hingga akupun pada akhirnya berpindah haluan dan lebih memilih IKK untuk dipelajari lebih dalam. Di IKK ngapain sih? Mungkin itu pertanyaan klise yang ditanyain banyak orang setelah mendengar jurusan yang rada enggak biasa ini.

Tips Sukses Pubertas, Gen Z Ayo Merapat!

                                                              (Pixabay/PublicDomainPicture) Siapa di sini yang udah memasuki masa-masa pubertas? Masa pubertas, merupakan masa dimana semuanya benar-benar berubah.  Ya gimana enggak, masa pubertas merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa remaja. Uniknya, ketika memasuki masa pubertas dibilang masih anak-anak nggak mau tapi dibilang dewasa juga belum siap 🙊 Eits, tapi tenang aja kalau kamu udah ada di masa pubertas ini. Karena aku bakalan spill Tips Sukses Pubertas yang sangat mudah kamu terapkan di dalam keseharianmu ☺ 6 Tips Sukses Pubertas 1. Pahami Perubahan Bentuk Tubuh (fisik) Hal yang bikin kaget dan tentu saja penanda pertama ketika kamu memasuki masa pubertas adalah, perubahan bentuk tubuh. Suara mulai berubah (perempuan cempreng, laki-laki nge-bas), tumbuhnya bulu-bulu di area-area tertentu, jerawat, dada bidang (laki-laki),  haid (perempuan), adanya sperma (laki-laki), dan tumbuhnya payudara (perempuan). Jadi jangan