(Pixabay/PublicDomainPicture) Siapa di sini yang udah memasuki masa-masa pubertas? Masa pubertas, merupakan masa dimana semuanya benar-benar berubah. Ya gimana enggak, masa pubertas merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa remaja. Uniknya, ketika memasuki masa pubertas dibilang masih anak-anak nggak mau tapi dibilang dewasa juga belum siap 🙊 Eits, tapi tenang aja kalau kamu udah ada di masa pubertas ini. Karena aku bakalan spill Tips Sukses Pubertas yang sangat mudah kamu terapkan di dalam keseharianmu ☺ 6 Tips Sukses Pubertas 1. Pahami Perubahan Bentuk Tubuh (fisik) Hal yang bikin kaget dan tentu saja penanda pertama ketika kamu memasuki masa pubertas adalah, perubahan bentuk tubuh. Suara mulai berubah (perempuan cempreng, laki-laki nge-bas), tumbuhnya b...
Apakah Anda merasa bahwa Anda merupakan insan terbaik dan terpilih
karena kini Anda memiliki kehidupan dan pendidikan yang begitu baik?.
Apakah Anda merasa bahwa orang-orang yang begitu banyak menghabiskan
waktunya di jalan merupakan orang-orang yang tidak mempunyai visi
kehidupan sehingga menjadikan jalan sebagai sahabatnya?. Dan apakah Anda
juga termasuk ke dalam orang-orang yang mengkritik betul terhadap
pemerintahan negara kita yang begitu semerawut hingga mungkin beberapa
diantara Anda rela ‘meluangkan’ waktunya untuk turun ke jalan meneriakan
kegagalan kinerja pemerintah yang begitu buruk. Tapi seberapa banyak
dari Anda yang mengkritisi sistem pendidikan yang telah tertanam begitu
lama pun dengan hasil sistem yang telah diterapkan kini Anda menempati
posisi terbaik karena menyandang gelar ‘mahasiswa’ yang merupakan
tingkatan tertinggi dalam kelas akademik?.
Sadarkah
kita bahwa sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia sebetulnya
hanya menyiapkan siswa untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi, dengan
kata lain pendidikan yang diterapkan ‘hanya’ berlaku untuk anak-anak
yang mampu secara kognitif (bahasa dan logis matematis). Hal ini dapat
terlihat dari mata pelajaran-mata pelajaran yang diterapkan yang
mengedapankan sisi akademik (kognitif) yang identik dengan kemampuan
otak kiri. Tetapi tahukah Anda bahwa ternyata sebanyak 85% penduduk di
dunia ini memiliki IQ <120, hal ini berarti menunjukan bahwa hanya
sekitar 15% saja orang yang mampu secara akademik.
Sudah
puluhan tahun energi bangsa kita terbuang sia-sia untuk menciptakan
manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala beban kurikulum
yang luar biasa beratnya. Padahal, jika potensi (IQ) siswa hanya 90 atau
100, diberi pelajaran tambahan berapapun, tidak akan meningkatkan
hingga 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan pada bidang
keterampilan untuk menyiapkan 85% penduduk agar mereka siap dan terampil
untuk bekerja secara profesional, mencintai pekerjaannya dan
berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi
Indonesia tidak separah sekarang (Megawangi 2008).
Lihatlah
sejenak anak-anak yang lebih memilih nongkrong di jalan bahkan dengan
bangganya menghisap rokok dan mereka benar-benar tidak memiliki rasa
malu dengan atribut lengkap yang masih mereka kenakan (seragam) yang
bahkan mencantumkan namanya dan identitas sekolah yang sangat lengkap.
Lantas pertanyaanpun muncul, apa sebenarnya titik masalah yang mereka
hadapi? Apakah permasalahan ekonomi? Keluarga? Lingkungan masyarakat
yang tidak mendukung? Atau kah lingkungan akademik yang seakan-akan
menganggap mereka kaum ‘terpinggirkan’ karena tidak sekompeten siswa
yang lainnya sehingga jalanlah pilihan mereka dibandingkan sekolah yang
di create untuk menimba ilmu sebanyak mungkin sehingga
menghasilkan insan-insan akademisi unggul. Lantas bukankah Tuhan
membekali manusia dengan struktur otak yang sama, dan ketika manusia
dilahirkan benar-benar pure semuanya sama tidak memiliki
pengetahuan sama sekali karena pengetahuan tumbuh tidak terlepas dari di
mana dan pada lingkungan seperti apa ia dibesarkan.
Erik
Erikson (1902-1994) berpendapat bahwa perkembangan emosi positif sangat
penting dalam perkembangan jiwa anak, dan ini sangat bergantung pada
peran orangtua dan guru. Memasuki usia 18 bulan sampai 3,5 tahun seorang
anak memasuki tahap autonomy vs shame/doubt (kemandirian vs ragu/malu)
dalam tahapan ini anak akan mempunyai rasa malu dan ragu tentang
kemampuan dirinya. Mereka hendaknya dibiarkan bebas bereksplorasi dan
bereksperimen walau tetap dalam pengawasan orangtua. Anak yang sering
dilarang, dimarahi, serta dihukum pada tahapan ini akan menjadi pribadi
yang apatis dan rendah diri. Ia juga akan menjadi ragu dalam proses
pengembangan identitas kepribadiannya yang unik karena takut dianggap
berbeda. Usia 3,5-6 tahun anak memasuki tahap initiative vs guilt
(inisiatif vs merasa bersalah) seorang anak yang baik pada tahapan
sebelumnya berpotensi berkembang ke arah yang positif (kreatif,
antusias, aktif bereksperimen, imajinatif, berani mencoba, berani
mengambil resiko, dan senang bergaul dengan kawannya). Kesemuanya ini
bergantung kepada lingkungan belajar anak yang kondusif, jika pada masa
ini anak sering dikritik, maka emosi yang timbul adalah negatif (selalu
timbul perasaaan bersalah atas apa yang telah ia kerjakan) ketika anak
diberikan tanggung jawab dan semakin ia merasa bertanggung jawab, maka
anak semakin mempunyai inisiatif. Usia 6-10 tahun anak memasuki tahap
industry vs inferiority (berkarya/etos kerja vs minder) masa ini
merupakan masa kyang sangat kritis bagi anak, di mana anak mengembangkan
kepercayaan dirinya bahwa mereka mampu untuk berkarya dan
bereksplorasi. Seharusnya pada masa ini anak paling antusia belajar dan
berimajinasi. Pada masa ini yang harus ditimbulkan pada perasaan anak
seperti “Aku bisa”, “Aku pintar”, “Aku anak baik”,dll. Karena bila
perasaan ini tidak ditimbulkan maka akan timbullah perasaan rendah diri
atau minder seperti “Aku bodoh”,”Aku tidak bisa berkarya”,dll. Apabila
perasaan negatif ini terus timbul maka akan terbawa hingga ia dewasa.
Merujuk
pada tahapan-tahapan perkembangan tersebut yang ternyata masuk ke dalam
usia pra sekolah dan sekolah dapat ditarik kesimpulan bahwa usia-usia
tersebut merupakan masa yang sangat penting dimana antusias dan
kepercayaan diri pada diri anak di bangun. Dapat dibayangkan apabila
ternyata anak justru tidak mendapatkan kondisi positif untuk belajar dan
mengembangkan dirinya. Mari sejenak kita mengingat bagaimana sistem
ranking diterapkan. Ranking di kelas berarti secara gamblang memberikan
informasi atas pencapaian kognitif siswa di kelas. Hal ini bukanlah
menjadi suatu masalah bagi anak yang memiliki kemampuan kognitif yang
baik tetapi bagaimana dengan anak yang justru kecerdasannya bukan
dikognitif, bagaimana perasaan anak ketika misalnya ia mendapatkan
ranking terakhir di kelas, bukankah secara tidak langsung hal ini
menimbulkan rasa minder, bodoh, bahkan mungkin merasa menjadi siswa yang
tidak berguna. Belum lagi ketika ternyata keluarganya bukannya malah
mensupport tetapi justru memojokan anak sehingga melekatlah
citra ‘produk gagal’. Lantas jika ini terus-terusan berlanjut maka anak
akan mencari ‘pelarian’, dimana anak akan mencari lingkungan yang
benar-benar dapat menerimanya dan tidak menganggap dia sebagai ‘produk
gagal’ yang tidak berguna. Maka tidaklah heran kalau ternyata kini angka
kenakalan remaja seperti free sex, geng motor, tawuran, dll dikalangan usia sekolah tinggi.
Padahal menurut Howard Gardner orang yang pertama mencetuskan istilah multiple intelligences (kecerdasan
majemuk). Konsep ini memperkenalkan bahwa manusia belajar dan berhasil
melalui berbagai kemampuan kecerdasan yang tidak terukur oleh IQ.
Menurut Gardner, definisi cerdas adalah “Kemampuan memecahkan masalah
atau kemampuan berkarya menghasilkan sesuatu yang berharga untuk
lingkungan sosial, budaya, atau lingkungannya”. Gardner membagi
kecerdasan kedalam 9 aspek yaitu: picture smart (spasial) kemampuan
tinggi dalam memvisualisasikan fenomena dalam bentuk gambar, people
smart (kecerdasan interpesonal) kemampuan sosialisasi yang baik, ciri
kecerdasan ini ialah mudah menyelesaikan konflik dengan orang lain, body
smart (kecerdasan kinestik) cepat mempelajari dan menguasai
kegiatan-kegiatan yang melibatkan fisik, baik motorik kasar maupun
halus, word smart (kecerdasan bahasa) mampu mengekspresikan pikirannya
secara verbal maupun tulisan, self smart (kecerdasan intrapersonal)
mudah mengenali perasaan diri (puisi,drama,meditasi,menulis jurnal, dan
bercerita), sound mart (kecerdasan musik), nature smart (kecerdasan
mempelajari alam) mempelajari fenomena alam (biologi), number smart
(kecerdasan logika matematika), spiritual smart (kecerdasan spiritual)
menyadari adanya saling keterkaitan antara dirinya dengan manusia lain,
serta lingkungannya, kemampuan berpikir dalam tentang makna hidup.
Anak-anak
yang mempunyai masalah dalam perkembangan emosi sosialnya akan
mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak dapat
mengontrol emosinya.Aspek kecerdasan emosi anak dapat membantu anak
dalam mengembangkan potensi-potensi lainnya secara lebih optimal. Bahkan
anak yang tadinya kelihatan agak terbelakang, dengan diberikan
perhatian dan lingkungan belajar yang kondusif untuk menumbuhkan
kepercayaan dirinya, dapat membuat anak tersebut mampu mengikuti
pelajaran sekolah dengan baik (Megawangi 2004).
Pertanyaanpun
muncul, bukankah dengan diterapkannya sistem ranking anak akan terpacu
untuk belajar lebih baik lagi dengan harapan anak dapat meraih prestasi
sebaik mungkin. Ya itu memang betul, dengan diterapkannya sistem ranking
maka akan menimbulkan persaingan sehingga setiap individu akan
berlomba-lomba untuk mendapatkan hasil yang terbaik tetapi ingat ini
hasil untuk apa dan untuk siapa, kalau toh ini hanya berpusat pada
pencapaian dan keberhasilan individu maka jangan salahkan jika begitu
banyak masyarakat kita yang memiliki sifat individualis yang tinggi
(bukankah ketika Anda meraih tingkatan tertinggi Anda telah mengalahkan
orang lain, dan untuk mempetahankan posisi Anda, Anda akan melakukan
segala upaya untuk tetap mempertahankannya dan ketika posisi Anda
beralih kepada orang lain Anda tidak senang dengan keberhasilan yang
sekan-akan telah menggantikan’posisi’ Anda itu), tidak senang melihat
keberhasilan orang lain, hingga yang paling parah adalah melakukan
berbagai cara untuk mencapai hasil yang Anda inginkan dan hal ini
terbukti dengan maraknya aksi mencontek dikalangan pelajar dan mahasiswa
karena orientasi nilai dan pencapaian target akademik yang tinggi,
sehingga belajar seakan-akan untuk kebutuhan nilai dan formalitas, bukan
menelaah lebih dalam apa tujuan dari pelajaran yang diberikan dan yang
terpenting adalah bagaimana relevansi antara apa yang didapatkan di
sekolah/kampus dengan kehidupan nyata yang berada di sekitarnya.
Lantas
pertanyaannya sekarang sistem pendidikan apa yang semestinya
diterapkan, kalau toh pada kenyataannya sistem pendidikan seperti ini
memiliki efek yang buruk khususnya pada kecerdasan emosi siswa. Dewey
berpendapat bahwa tujuan pendidikan harus dapat menyiapkan manusia untuk
dapat mengarungi kehidupan sesuai dengan jamannya. Beberapa pokok
pikiran yang dapat dijadikan dasar untuk tujuan pendidikan adalah:
menyiapkan individu sebagai lifelong learners (pembelajar sejati) dimana
lifelong learners ini akan menyadari betul bahwa dirinya
merupakan bagian dari suatu sistem, dan dengan menyadari itu maka ia
akan memberikan kontribusi terbaik untuk sistemnya, menyiapkan individu
yang mempunyai komitmen terhadap perdamaian dan perwujudan dunia yang
lebih baik, dan menyiapkan individu yang mempunyai daya saing tinggi
dalam dunia kerja (jelaslah disini keberhasilan team work yang lebih diutamakan).
Intinya adalah bagaimana suatu
sistem pendidikan yang diterapkan bukan hanya mengangkat kecerdasan
kognitif saja tetapi bagaimana sistem pendidikan tersebut dapat
menjadikan manusia yang dapat menyeimbangkan body mind and soul .
Potensi manusia yang harus dikembangkan melalui pendidikan adalah:
aspek fisik,emosi, sosial, kreativitas, spiritual, dan akademik. Menurut
Jeremy Henzell-Thomas (2004) “Membangun secara utuh dan seimbang pada
setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran spiritual, moral,
imajinasi, intelektual, budaya, estetika, emosi, dan fisik. Mengarahkan
seluruh aspek tersebut kearah pencapaian sebuah kesadaran tentang
hubungannya dengan Tuhan, yang merupakan tujuan akhir dari semua
kehidupan manusia di dunia”.
Untuk
itulah pendidikan holistik hadir. Pendidikan holistik mulai berkembang
sekitar tahun 1960-1970. Sebagai akibat dari krisis ekologi, dampak
nuklir, polusi kimia dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya
masyarakat tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional beserta
institusinya. Prinsip-prinsip pendidikan holistik hadir karena pada
kenyataannya banyak siswa yang kesulitan dalam memahami arti (meaning),
relevansi dan nilai (value) dari sekolah dan kehidupan, siswa tidak
menemukan alasan tepat untuk menuntut ilmu sehingga ilmu yang dipelajari
hanya diperuntukan untuk ujian, ujian bagus berarti masuk perguruan
tinggi, setelah lulus kuliah terus kerja (apakah rangkaian tersebut
merupakan alasan yang tepat untuk mempelajari suatu ilmu?).
Tujuan
pendidikan holistik yaitu bagaimana agar siswa siap menghadapi
tantangan hidup termasuk akademik. Pendidikan holistik dengan prinsip
dan konsep dasarnya yaitu connected, wholeness, dan being. Makna holistik dalam pendidikan mencangkup 3 aspek, yitu: holistic education, holistic curriculum, dan holistic learning.
Dimana dalam pendidikan holistik mata pelajaran diberikan memiliki
keterkaitan dengan yang lainnya serta relevan dalam kehidupan nyata.
Dengan mata pelajaran yang saling terkait siswa dilatih agar tidak
berpikir parsial, terkotak-kotak sehingga dapat memandang segala sesuatu
secara utuh dan menyeluruh.
Fitjrof
Capra berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang sains, masyarakat,
dan kebudayaan telah begitu terkotak-kotak, sehingga manusia tidak mampu
melihat segala sesuatu secara keseluruhan dari setiap fenomena sehingga
solusi untuk menyelesaikan permasalahanpun menggunakan pendekatan yang
parsial, sehingga bukannnya menyelesaikan masalah tetapi justru
memperumit masalah. Hal ini serupa dengan pendapat David Orr yang
mengatakan bahwa isu-isu terbesar saat ini pasti berakar dari kegagalan
kita untuk melihat segala sesuatu secara menyeluruh.
Setiap
manusia yang diciptakan Tuhan telah Tuhan bekali dengan mesin
kecerdasan yang berbeda-beda. Setiap manusia memiliki hak yang sama
untuk meraih kesuksesan dalam hidup. Tidak ada satupun manusia yang
diciptakan Tuhan tanpa ada misi, Tuhan selalu memiliki maksud dan tujuan
dalam setiap penciptanNya. Sekarang tugas kita adalah bagaimana
membangun lingkungan kondusif untuk mencetak juara-juara masa depan yang
bukan hanya suskses terhadap kehidupan pribadinya tetapi juga dapat
memberikan kontribusi penuh terhadap sistemnya. Untuk itulah perlu
adanya keseimbangan antara body mind and soul . Melalui
pendidikan holistik maka akan lahirlah insan madani, insan kamil, insan
paripurna yang menyadari betul bahwa tujuan akhir dari kehidupan ini
adalah untuk Tuhan. Tidak ada manusia bodoh ataupun manusia yang tidak
berguna, hanya tinggalah tugas kita sekarang adalah menemukan kuncinya,
dan fokuslah pada kelebihannya bukan pada kelemahannya. Karena ternyata
dalam penelitiannya George Boggs memaparkan bahwa kecerdasan kognitif
hanya menyumbang sekitar 20% dari kesuksesan hidup, sementara sebanyak
80% ditentukan oleh kecerdasan emosi.
Daftar Pustaka
Megawangi, Ratna., R. Dona, Y. Florence, W. Farrah Dina. (2004). Pengasuhan
dan Pendidikan Anak yang Patut dan Menyenangkan Untuk Anak Usia Dini (0
sampai 8 tahun): Penerapan teori DAP, Pendidikan yang Patut Sesuai
Dengan Tahapan Perkembangan Anak. Depok : Indonesia Heritage Foundation.
Megawangi, Ratna. (2004). Pendidikan karakter. Depok : Indonesia Heritage Foundation.
Megawangi, Ratna., M. Latifah.,W. Farrah Dina.(2008). Pendidikan Holistik: Aplikasi Kurikulum Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Untuk Menciptakan Lifelong Learners. Depok : Indonesia Heritage Foundation.
Komentar
Posting Komentar